DOOR DE PADANGSCHE BOVENLANDEN: SEBUAH SUMBANGSIH TERHADAP FILM DOKUMENTER SEJARAH[1]
Oleh: Fikrul Hanif Sufyan[2]
A. Sebuah Prolog
No document no history, sebuah pameo dalam dunia sejarah yang menggambarkan pentingnya dokumentasi dalam penelitian ataupun penulisan sejarah. Ketika dokumen dalam bentuk arsip, koran, majalah, literatur “diramu” dalam sebuah bait tulisan, jadilah ia teks sejarah. Namun dalam proses berikutnya, sangat disayangkan jika untaian kata dalam teks sejarah terbuang percuma, ketika si pembaca kurang memahaminya, bahkan cenderung malas untuk membacanya, karena ia dianggap sebagai bagian dari masa lalu.
Salah satu media pembelajaran yang banyak digandrungi di kalangan siswa dan mahasiswa pada hari ini untuk memahami sejarah adalah film dokumenter. Munculnya istilah film dokumenter sebagai bagian integral dari media[3] audio visual bukanlah hal yang baru. Sejak awal ditemukannya sinema, sineas film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. [4]
Film-film berikutnya yang dihasilkan oleh sineas cukup beragam. Salah satu film dokumenter yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini adalah Door de Padangsche Bovenlanden.[5] Film yang diproduksi NIFM Polygoon-Haarlem pada tahun 1940an ini, menampilkan suasana pinggiran Emmahaven, perayaan Cap Go Meh di kampung Pondok Padang, perjalanan kereta api dari Kota Padang menuju daerah pedalaman Minangkabau. Selain itu, dalam film yang berdurasi 20 menit, 33 detik ini, juga menampilkan sisi unik dari aktivitas perekonomian di pedalaman Minangkabau.
Film produksi NIFM Polygoon pada dasarnya memberi ruang informasi langsung pada penikmat film, bagaimana seharusnya memaknai dan menghargai deskripsi sejarah Minangkabau pada periode 1940an. Door de Padangsche Bovenlanden tentunya memberi pemahaman lebih lanjut terhadap teks sejarah yang terkadang sulit dipahami oleh pembacanya melalui literatur-literatur yang ditulis sejarawan lokal, nasional, dan luar negeri. Bagaimana perkembangan sejarah film dokumenter?, Bagaimana kisah-kisah dalam segmen film dokumenter Door de Padangsche Bovenlanden mulai dari pelabuhan Emmahaven hingga Fort de Kock?, akan penulis uraikan dalam tulisan yang singkat ini.
B. Renungan Terhadap Door de Padangsche Bovenlanden
1. Perkembangan Film Dokumenter Era 1922-1945
Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi, merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital).[6]
Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926).[7]
Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation’s Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933).[8] Lebih lanjut David Parkinson menulis:
Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi.[9]
Bagaimana dengan perkembangan film Amerika pada era 1930an? Pada masa depresi besar atau dalam istilahnya disebut zaman malaysie, telah memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk.
Pada era tahun 1940an, Perang Dunia II telah mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater.
Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik.[10]
2. Wajah Sumatera Barat dalam Door de Padangsche Bovenlanden
Bila pada era 1930an, industri film di Amerika menyajikan peristiwa-peristiwa dampak dari masa depresi ekonomi dan mendapat sokongan penuh dari pemerintah Amerika Serikat, maka NIFM Polygoon-Haarlem justru menyajikan film mengenai kondisi teluk Bayur, pemukiman nelayan di Batang Arau, perayaan Cap Go Meh, dan aktivitas perekonomian di pedalaman Minangkabau.
Door de Padangsche Bovenlanden merupakan salah satu film yang diproduksi NIFM Polygoon pada tahun 1940. Film berdurasi 20 menit, 33 detik ini menampilkan suasana sejarah maritim, kebudayaan, transportasi, sosial ekonomi, sekaligus geografis Minangkabau pedalaman. Pada masa kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda memang memiliki kesadaran lebih tinggi untuk mendokumentasikan seluruh aktivitas mereka di tanah jajahan, melalui dokumen arsip, surat kabar, foto-foto, dan yang paling mutakhir adalah film dokumen.
Kesadaran mereka untuk mendokumentasikan seluruh peristiwa yang terjadi di tanah jajahan dalam bentuk audio visual, memang agak berbeda dengan kesadaran dari kita sebagai bangsa yang pernah “dijajah” dalam memaknai arti pentingnya dokumentasi sejarah. Maka, film Door de Padangsche Bovenlanden menarik untuk dicermati, terutama kita hubungkan dengan kesadaran terhadap sejarah lokal di Sumatera Barat.
Segmen pertama dalam film Door de Padangsche Bovenlanden menyajikan situasi Emmahaven (teluk Bayur) sebagai pelabuhan besar di kawasan pantai Barat Sumatera. Menurut Gusti Asnan, topografi pantai Barat Sumatera ditandai dengan banyaknya tanjung dan teluk. Keadaaan alam ini, lanjutnya, merupakan kekhasan daerah pantai dalam banyak situasi memberi arti penting dari sebuah pantai.[11] Berbekal kamera sederhana pada era 1940an, kameramen menyorot beberapa objek yang menarik, mulai dari rumah panggung, surau, mercusuar. Selain itu, film yang diisi dengan narator berbahasa Belanda ini juga menyorot aktivitas dari kapal-kapal yang akan berlabuh di teluk Bayur. Pada segmen berikutnya, kameramen menyorot aktivitas dari kampung-kampung nelayan yang berada di sekitar Batang Arau. [12]
Pada segmen kedua dari film Door de Padangsche Bovenlanden, kameramen menampilkan sesi perayaan Cap Go Meh di kampung Pondok Padang. Perayaan Cap Go Meh ini diawali dengan sesi arak-arakan yang membawa patung singa dan anak-anak etnis Tionghoa yang memakai pakaian Tek Pek Hong. Namun, ada hal yang menarik dari perayaan hari tahun baru Imlek ini. Rupanya, perayaan Cap Go Meh pada tahun 1940 itu tidak saja dimeriahkan etnis Tionghoa, juga dari etnis Minang. Hal ini tampak dari tukang tandu yang membawa arak-arakan patung singa dan anak-anak etnis Tionghoa yang memakai baju guntiang Cino dan kopiah hitam. Lebih lanjut dalam film ini disajikan mengisahkan:
In Alle kutsplaatsen van Indie overheerscht als hendelselement de nijvere Chinees. Een der groote feesten van de Zonen van het Hemelsche Rijk is de Tjap-Goh-Meh. Aan het einde van de stoet komt onder rumoer en lawaai, het aller Allerheleigste der Chineezen, de Tek Pek Hong. [13]
“Di seluruh kota-kota pesisir di Hindia Timur didominasi oleh orang Cina yang ulet. Salah satu perayaan besar Kekaisaran Celestial Cap Goh Meh. Pada akhir prosesi berada di bawah kebisingan, Sakramen paling khusus Maha Suci dari Cina, Tek Pek Hong”
Selain menampilkan sesi arak-arakan Cap Go Meh menuju klenteng, kameramen juga menyorot penampilan atraksi barongsai dalam durasi dua menit. Atraksi barongsai ini hanya menyorot para pemain singa barong dan pengiring musik, tanpa menayangkan penonton yang melihat pertunjukan ini. Dari cuplikan kisah Emmahaven[14] hingga perayaan Cap Go Meh di kampung Pondok Padang, menunjukkan bahwa aktivitas pantai Barat Sumatera pada masa lampau memang cukup padat. Selain itu kawasan Emmahaven, kampung Pondok, Batang Arau, Pasa Gadang, Pasa Mudiak, tidak saja dihuni oleh orang Minang yang berasal dari kawasan darek dan pesisir, juga dari etnis Tionghoa, Nias, Arab, dan India.
Sesi berikutnya dalam film Door de Padangsche Bovenlanden, menyajikan perjalanan kereta api yang dimulai dari Simpangharu Padang menuju kawasan Fort de Kock. Jika dilihat dari sisi pengambilan gambar, si kameramen berada di lokomotif tempat si masinis bekerja. Dalam perjalanan kereta api menuju Fort de Kock, narator mengisahkan bahwa jalur perjalanan yang menghubungkan beberapa daerah strategis, yakni Padang, Padang Panjang, Fort de Kock, Payakumbuh, Sawahlunto, dan lainnya.
Door tunnels en over bruggen, langs woeste bergstroomen en watervalleen…. we snellen door het verbijsterend schoone landschap. [15]
Terjemahan:
Melalui terowongan dan jembatan, menyisiri air sungai (gunung) dan air terjun…. Kami terburu-buru melihat pemandangan indah yang menakjubkan.
Kondisi pemandangan alam di sepanjang lembah Anai memang tidak jauh berbeda dengan kondisi pada hari ini. Hanya saja, yang membedakannya adalah kondisi jalan darat yang ada di sisi rel kereta api[16] pada tahun 1940, tentu saja belum beraspal hotmix. Menurut Gedenkboek der Staatsspoor en Tramvegen in Nederlandsch Indie 1875-1925 terbitan tahun 1925, mengisahkan bahwa keberadaan kereta api di Sumatera Barat tidak lepas dari kebijakan ekonomi regional pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19. Untuk membangun proyek tiga serangkai ini (Tambang Batu bara Ombilin, Jalur Kereta Api dan pelabuhan Emmahaven) sampai tahun 1899 Pemerintah Kolonial Belanda telah mengeluarkan investasi yang mencapai 35.034.000 Gulden.
Investasi besar yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19 itu, tentunya berhubungan erat dengan kebijakan ekonomi dan persiapan mereka menghadapi perlawan kaum Padri. Namun, ada hal menarik dari perjalanan kereta api sepanjang lembah Anai. Berapa banyak tenaga manusia yang dieksploitasi dalam membangun rel, jembatan kereta api yang tentunya tidak dibantu dengan peralatan berat?. Jalur kereta api di sepanjang lembah Anai, melalui kawasan perbukitan, terowongan bawah tanah, dan jembatan yang terletak di atas arus sungai yang deras tentu menjadi pekerjaan yang sangat berat dan membahayakan keselamatan si pekerja.[17]
Setelah sampai di Fort de Kock, kameramen Polygoon mengambil sesi gambar aktivitas ekonomi di Pasar Atas.[18] Kameramen selanjutnya menyorot aktivitas dari dua orang perempuan yang menjunjung seikat sapu lidi, perempuan berhijab “lilik” ala siswi Diniyah Putri, dan beberapa orang perempuan dengan pakaian kebaya menaiki janjang ampek puluah (jenjang empat puluh).
het marktplein met den Klokketoren, een geschenk van de bevolking aan Fort de Kock
Terjemahan:
Pasar dengan Bell Tower (Jam Gadang), hadiah untuk orang-orang Fort de Kock.
Aktivitas yang direkam oleh kameramen di sekitar Jam Gadang, menunjukkan bahwa kawasan ini memang ramai dikunjungi. Dalam sesi pengambilan gambar di kawasan Jam Gadang, tampak deretan kuda bendi telah mengantri tepat di depan tower, seorang anak yang duduk sambil membeli sesuatu pada seorang pedagang perempuan, pedagang yang berjalan memanggung dagangannya, beberapa orang laki-laki berpakaian ala Eropa dan memakai topi putih berjalan menjauhi Jam Gadang.
C. Sebuah Epilog
Idiom yang menyebut sejarah sebagai pelajaran ataupun mata kuliah yang monoton dan membosankan tidak sepenuhnya benar. Kejenuhan dari kalangan pembaca literatur sejarah, siswa, mahasiswa memang bisa dimaklumi karena banyaknya fakta yang disuguhkan, baik dalam bentuk temporal, spatial, dan proses sejarah itu sendiri.
Kejenuhan terhadap sumber-sumber bacaan pada dasarnya bisa diatasi, apabila penikmat sejarah mau meluangkan waktu untuk menonton film-film dokumenter sejarah yang sudah beredar luas, ataupun khusus disimpan di lembaga-lembaga arsip maupun perpustakaan. Film dokumenter pada dasarnya merupakan saksi hidup yang menegaskan, bahwa ia merupakan produk masa lampau dan menjadi bagian dari realitas yang pernah terjadi.
Film dokumenter tentunya juga bagian dari sumber sejarah yang tidak akan lekang oleh perjalanan waktu. Melalui aksi lensa, kameramen berupaya menyuguhkan aktivitas orang perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat, tanpa sedikitpun ia setting pasca produksi film. Artinya, film dokumenter merupakan media audio visual yang ampuh dalam proses memahami peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Bahkan, perkembangan film dokumenter pasca Perang Dunia Kedua, mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni, sejarah, dan lain sebagainya.
[1]Makalah ini dipresentasikan pada acara Workshop Public History dan Media Audio Visual tanggal 28-29 Desember 2013 di STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh. Tulisan lainnya yang pernah penulis tampilkan berjudul “Film Dokumenter Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Motivasi Siswa dalam Proses Pembelajaran Sejarah” dipresentasikan pada acara seminar sehari tentang Telaah Kualitas Pendidikan di Sumatera Barat dari Masa ke Masa tanggal 1 Juni 2010 di Gedung E Universitas Andalas Padang
[2]Penulis adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh dan dosen tidak tetap di Jurusan Sejarah FIB Universitas Andalas Padang.
[3]Menurut Azhar Arsyad kata media berasal dari bahasa latin, yakni medium yang secara harfiah artinya perantara atau pengantar. Maka media dapat dikatakan sebagai perantara aatau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Sedangkan NEA (National Education Association) memberi batasan bahwa media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya, media mudahnya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Maka jika merujuk pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media adalah segala sesnuatu yang digunakan untuk menyalurkan, merangsang fikiran, perasaan, minat, serta perhatian siswa sehingga proses belajar terjadi. Lebih lanjut baca Azhar Arsyad, Media Pembelajaran. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 3. Baca juga dalam Harsya W Bachtiar, Media Pendidikan. (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1984), hlm. 6.
[4]Film yang dihasilkan Lumiere pada masa itu masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan “actuality films”. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika. Lebih lanjut baca David Parkinson, History of Film. (United Kingdom: Thames & Hudson, Ltd, 1995), hlm. 29.
[5]Lebih lanjut lihat film Door de Padangsche Bovenlanden produksi NIFM Polygoon-Haarlem tahun 1940.
[6]Definisi dokumenter selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. A. Baksin, Membuat Film Indie itu Gampang. (Bandung: Katarsis, 1986), hlm. 10.
[7]Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah “documentary”, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai “Bapak Film Dokumenter”. H. Effendy, Mari Membuat Film: Panduan untuk menjadi produser. (Jakarta: Panduan, 2002), hlm. 15.
[8]Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori “kino eye”. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin – Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. Lebih lanjut baca David Parkinson, History of Film. (United Kingdom: Thames & Hudson, Ltd, 1995), hlm. 57.
[9]Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain. Lebih lanjut baca David Parkinson, History of Film. (United Kingdom: Thames & Hudson, Ltd, 1995), hlm. 59.
[10]Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958). Lebih lanjut baca David Parkinson, History of Film. (United Kingdom: Thames & Hudson, Ltd, 1995), hlm. 102.
[11]Beberapa teluk dan tanjung yang terkenal dan memainkan peran penting , menurut Gusti Asnan antara lain Tanjung Singkel, Teluk Tapanuli, Tajung Kara-Karaen, Teluk Air Bangis, Teluk Bayur Padang, dan Tanjung Indrapura. Lebih lanjut baca Gusti Asnan, Dunia Pantai Barat Sumatera. (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 25.
[12]Lebih lanjut lihat film Door de Padangsche Bovenlanden produksi NIFM Polygoon-Haarlem tahun 1940.
[13]Lebih lanjut lihat film Door de Padangsche Bovenlanden produksi NIFM Polygoon-Haarlem tahun 1940.
[14]Pada masa pemerintahan kolonial Belanda tepatnya sekitar tahun 1850 dikawasan Teluk Bayur sudah dirintis pelayaran langsung Batavia-Padang dengan menggunakan kapal uap. Kota Padang terbukti memiliki cukup potensi untuk berkembang dan menguntungkan pemerintahan kolonial Belanda, terutama untuk perkebunan dan perdagangan sektor kopi. Pelabuhan Teluk Bayur sebelumnya bernama Emmahaven yang dibangun sejak zaman kolonial Belanda antara tahun 1888 sampai 1893. Setiap harinya pelabuhan ini berfungsi sebagai pintu gerbang pusat perdagangan pemerintahan kolonial Belanda di Sumatra Barat. Luasnya pelabuhan Teluk Bayur juga menjadi salah satu alasan pemugaran dan perluasan pelabuhan ini penting untuk dilakukan. Pada tahun 1890 Pelabuhan Ratu Emma atau Teluk Bayur direnovasi dan baru selesai dikerjakan pada tahun 1895. Pengerjaannya sendiri memakan waktu 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Belanda dalam mengerjakan proyek-proyek infrastruktur sangat ketat. Hasilnya, peninggalan-peninggalan infrastruktur dan bangunan Belanda masih kuat hingga saat ini.
[15]Lebih lanjut lihat film Door de Padangsche Bovenlanden produksi NIFM Polygoon-Haarlem tahun 1940.
[17]Dalam catatan Gedenkboek der Staatsspoor en Tramvegen in Nederlandsch Indie 1875-1925ditulis, bahwa pembangunan jalan kereta Api dari Pulau Air-Muaro Kalaban secara bertahap terus dilakukan. Pertama, Pembuatan jalan kereta api dari Pulau Air sampai ke Padangpanjang 71 Km selesai dalam bulan Juli 1891. Kedua, jalur Padang Panjang ke Bukittinggi 19 Km selesai pada bulan Nopember 1891. Ketiga, Padang Panjang-Solok 53 Km selesai pada 1 Juli 1892. Keempat, Solok- Muaro Kalaban 23 Km dan Padang-Teluk Bayur 7 Km. Kedua jalur ini selesai pada tanggal yang sama yaitu 1 Oktober 1892. Kelima, jalur kereta api dari Muaro Kalaban-Sawahlunto dengan menembus sebuah bukit berbatu yang kemudian bernama Lubang Kalam sepanjang hampir 1 Km (835 Meter) selesai pada 1 januari 1894.
[18]Perkembangan awal Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar yang dikelola oleh penghulu nagari Kurai. Pada awalnya pasar, atau orang Minang menyebutnya sebagai pakan, itu hanya dibuka tiap Sabtu, setelah makian ramai, maka ditambah dengan hari Rabu. Karena pasar itu terletak di salah satu bukik nan tatinggi (bukit yang tertinggi) maka kemudian jadilah sebutan Bukittinggi untuk pasar sekaligus Nagari Kurai itu. Nama pasar itu kini menjadi Pasar Atas (Pasar Ateh) dan berada di jantung kota ini. Dalam referensi lain disebutkan, pasar tersebut berdiri di atas tempat bernama Bukik Kubangan Kabau. Pada tahun 1820 diadakan pertemuan adat suku Kurai untuk mengganti nama Bukik Kubangan Kabau menjadi Bukik Nan Tatinggi. Nama bukik (bukit) yang terakhir itulah yang kemudian menjadi Bukittinggi. Nama Pasar Kurai menjadi Pasar Bukittinggi. Bagi Belanda, setelah perjanjian Plakat Panjang 1833, menjadikan pusat kegiatan ekonomi Fort de Kock. Nagari Kurai adalah salah satu nagari yang ada di daerah Luhak (kabupaten) Agam dan terdiri atas Lima Jorong. Jauh sebelum kedatangan Belanda di Dataran Tinggi Agam, 1823, Pasar Bukittinggi sudah ramai didatangi penduduk. Lebih lanjut lihat “Bukittinggi, Fort de Kock, Berawal dari Pasar”, Kompas tanggal 22 Maret 2010.