Bloggers, apa yang anda bayangkan saat memandang foto ini? Apakah anda surprise? Terperangah? Atau Terpesona? Pada awal Oktober 2009, saat Pariaman masih berduka diluluhlantak gempa 7,9 SR, banyak relawan asing yang terlibat di daerah ini. Suatu saat, mereka terpesona dengan pintarnya seekor beruk terlatih asal Pariaman yang dengan sigap mendengar aba-aba dari pawangnya.
Aba-aba yang diberikan si pawang pun sebenarnya sederhana, misalnya Haaaah !!! (aba aba diberikan sebagai start pertama si beruk memanjat kelapa), Lakeh…!! (aba-aba ini dimaksud untuk mempercepat gerak si beruk), Nan Gadang !!! (aba-aba untuk memilih kelapa yang besar-besar saja), Nan Tuo !! (diperintah untuk mengambil kelapa yang tua saja), Nan Mudo !!! (maksudnya untuk kelapa yang muda saja), Pindah !! (kalau kelapanya berdekatan si beruk disuruh pindah ke pohon di sebelahnya), dan Laaaah !! (perintah agar si beruk mengakhiri masa petualangannya).
Harga seekor beruk pintar di Pariaman ternyata bervariasi, tergantung tingkat kemampuan dan kemahiran si beruk, ada yang seharga Rp 1 juta, ada Rp 2 juta. Padahal kalau di”inap-inap”kan harga seekor beruk yang diperoleh si pawang di daerah Pasaman hanya Rp 200 ribu-300 ribu. Tapi karena si beruk sudah mahir dan mempuni kemampuannya, harganya bisa melonjak tinggi. Nah, bisanya..di Pariaman yang sering dipakai oleh sang Pawang biasanya beruk betina. Sebab, katanya beruk betina ini lebih sigap, lebih patuh dibandingkan dengan beruk jantan.
Berikut ciri seekor beruk betina: lebih kalem, pekerjaannya santai tapi pasti atau bahasa kerennya slow but sure, jarang melawan sama pawang, pemalu dan tidak berbahaya berbahaya (kecuali kalau dia sedang datang bulan, jangan coba-coba anda ganggu dia, bisa-bisa anda “digaramak”nya hehehe…), bila musim kawin suka menyendiri.
Sedangkan seekor beruk jantan sering dilukiskan sebagai tokoh protagonis. Ciri-cirinya: sangat temperamen, pekerjaannya cepat dan gesit (malah saking gesit dan brutalnya seluruh kelapa tua, muda, putik pun dijatuhkannya, sehingga si pawang pun “meha” sama si beruk jantan), kalau lagi musim kawin, sangat susah diatur (mungkin tingkat agresivitasnya lebih tinggi, dan perempuan jangan coba-coba dekat dengan dia), pendendam dan berbahaya (klo Bloggerspunya sifat ini, tolong dikurangi), tidak suka anak kecil, kadang suka merokok dan protes (walah…kebangetan!!!)
Nah, salah satu kebiasaan jelek dari beruk jantan ini suka “termenung” (tidak tahu apa yang dipikirkannya, apa memikirkan calon isteri atau anaknya yang masuk sekolah barangkali??). Kondisi ini sering terjadi saat si beruk hanya separo batang pohon yang dipanjatnya lalu bermenung-menung disitu.
Kondisi ini lah yang sering menyebabkan pawang beruk jadi marah dan memaki makinya. Tapi, rupanya si beruk jantan tampak santai sambil memeluk pohon kelapa, seakan-akan ia tidak acuh dengan komando sang Pawang. Saking emosnya, pernah sang Pawang sampai hati menarik tali beruk sekuat kuatnya, sehingga si beruk terjun bebas dari ketinggian dan ada juga yang tewas tercekik.
Nah, apa rahasi sehingga beruk di Pariaman dari dulu hingga kini tetap eksis?
Menurut Ajo Suryadi Sunuri dalam rubrik Minang Saisuak, ternyata Apenscholen (Sekolah Beruk) sudah ada sejak dulunya. Jongejans yang mengunjungi Pariaman akhir 1930-an, tertarik melihat kebiasaan masyarakat setempat memanfaatkan beruk untuk memetik buah kelapa. Ia kagum kepada ketelatenan dan kesabaran orang Pariaman mengajari anak-anak beruk yang ditangkap di rimba hingga akhirnya binatang liar itu bisa dimanfaatkan untuk memetik buah kelapa.
Bisanya, seekor anak beruk disuruh memilin atau menggigit tangkai buah kelapa yang diberi tali dan digantungkan di tiang berpalang panjang. Dengan telaten seekor anak beruk disuruh berkali-kali memilin buah kelapa yang digantungkan itu. Buah kelapa itu akan dijatuhkan oleh tuannya, kemudian ditarik kembali ke atas. Hal dilakukan berkali-kali sehingga anak-anak beruk itu jadi mengerti, sampai setelah besar ia dapat disuruh memetik kelapa dari pohonnya.
Saking pintarnya si beruk, ada anekdot di kampung saya, di Kurai Taji. Kalau si pawangnya masih pemula dan miskin dia selalu berjalan seiring dan selangkah dengan si beruk. Kalau sudah sedikit beruang (berduit), si pawang di depan mengendarai sepeda, terkadang si beruk duduk di depan atau dibelakang (persis Bapak-anak). Sedikit kaya, si pawang pun pakai motor, kali ini dia tidak mau si beruk duduk di depan, rupanya si pawang sudah sadar malu membawa si beruk… ditarohnya si beruk di belakang.