Saya hanya bisa bercerita sedikit tentang tokoh ini. Dia adalah Haji Ahmad bin Abdul Murid (1883-1928). Tokoh ini merupakan salah seorang tokoh modernis di Sumaniak, sekaligus pimpinan Serikat Islam Tanah Datar. Tidak banyak diketahui tentang sosok ulama ini, dan apa peran sentralnya di Serikat Islam pada masa itu.
Dari isterinya Siti Aisyiah, Haji Ahmad dikaruniai beberapa orang anak yang aktif di organisasi Muhammadiyah, seperti: A. Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Beliau juga dikenal sebagai penentang asas tunggal Pancasila. Sebagian mahasiswa angkatan 80an yang sering mengikuti pengajian di Kandang Ampek, kenal dengan sosok ini. Salah satu kadernya yang saya tahu adalah Prof Bustanuddin Agus, Prof Mansur Malik, Lukman Harun, dsb.), Sjamsuddin Ahmad (Panglima Hizbullah di Sumatera Barat), dan Hasan Ahmad.
Seperti telah sama kita ketahui semula SI dan PKI, yang sama-sama tumbuh di Jawa, saling bergandengan sejak 1920, tapi segera kemudian bersibak karena perbedaan haluan politik. Dalam kongres SI bulan Oktober 1921 di Surabaya, PKI resmi berpisah dari Sarikat Islam. Penggembosan dari dalam terus dilakukan PKI terhadap SI melalui apa yang disebut SI Merah atau Sarekat Rajat yang muncul tahun 1921. Tokoh-tokoh utama SI seperti Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis terus digoyang. Muis yang sempat mengunjungi tanah kelahirannya, Minangkabau, akhirnya terpental dari SI.
Pengaruh pertelingkuhan antara SI dan PKI (yang didukung oleh SI Merah/Sarekat Rajat) merembes pula ke Sumatra Barat. Hal itu tampak sekali di kota Padang Panjang, khususnya di antara para pengajar di Soematra Thawalib. Tiba-tiba PKI menjadi trend di sana setelah dua guru sekolah itu, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap Belanda pada 11 November 1923. Dalam pertemuan yang diorganisir oleh Sarekat Rajat di Padang Panjang tahun 1924, terlihat pengikut PKI makin bertambah di kota itu.
Selain Sulaiman Labai, ketua Sarikat Islam Silungkang, tidak banyak tokoh Sarikat Islam Sumatra Barat yang lain disebut-sebut dalam gerakan Komunis 1926-1927 di daerah ini (lihat: Harry J. Benda and Ruth T. McVey, The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, Ithaca: Cornell University, 1960; Audrey T. Kahin, Communist Uprising in Sumatra: A Reapraisal, Indonesia 62, 1996:19-36). Oleh karena itu kuat dugaan bahwa Haji Ahmad bin Abdul Murid mungkin tetap berada di pihak SI Putih di Sumaniak. Sejak 1924 SI Putih makin terdesak di Sumatra Barat seiring dengan meningkatnya aktifitas Sjarikat Rajat Sumatra Barat yang berafiliasi dengan PKI, yang kemudian berlanjut dengan berbagai teror di nagari-nagari yang dilakukan oleh berbagai double organization simpatisan PKI seperti Sarikat Djin, Sarikat Itam, dan Sarikat Maling (Hitam), serta demo-demo yang dilakukan oleh beragam organisasi simpatisan partai itu, seperti Barisan Merah, Sarikat Tani, Sarikat Djongos, dan Kaoem Iboe (yang terakhir ini dipimpin propagandis komunis Upik Hitam yang ditangkap di Batusangkar sekitar akhir Desember 1926).
penampilan Haji Ahmad bin Abdul Murid dalam foto ini, yang dibuat sekitar 1925 di tempat yang cukup unik (sulit menentukan apakah ini satu studio foto), tampil cukup modern. Saat itu ia masih menjabat sebagai ketua ISI Cabang Tanah Datar. Ia memakai kemeja lengan panjang, dasi kupu-kupu dan sepatu hitam, lengkap dengan kaos kaki, refleksi penerimaannya terhadap budaya Barat, serta sorban dan sarung, refleksi budaya lokal dan Islam. Penampilannya benar-benar merefleksikan perdebatan seputar pakaian di Minangkabau pada masa itu.
*Tulisan penulis ini pernah dipublikasikan Ajo Suryadi Sunuri dalam harian haluan dan http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1039.