Batang Tabik: Tempat Pemandian Dulu dan Kini

Bloggers, pagi ini saya akan mengahak anda untuk mengunjungi salah satu kawasan wisata yang ada di Kabupaten 50 Kota, yakni Batang Tabik. Tentunya, jejak-jejak sejarah yang penulis sajikan pagi ini tentunya ada hubungannya dengan masa lalu dan masa kini.

Batang Tabik merupakan nama sebuah jorong di Kenagarian Sei Kamuyang Kecamatan Luak Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Nama jorong ini diberikan karena sesuai dengan kondisi wilayah yang ada disana. Di wilayah ini terdapat sebuah batang tabik, atau mata air yang keluar dari tanah.

Menurut cerita tradisional yang diturunkan dari generasi ke generasi (oral history), mata air Batang Tabik berasal dari danau Singkarak. Benar atau tidaknya belum diketahui secara pasti.

Namun, satu hal yang jelas mata air ini mengalir terus tanpa henti. Tidak melihat apakah itu musim kemarau. Tetap jumlah airnya tak berkurang. Mengalir sangat banyak.

Menurut folklore yang berkembang di sana, mata air itu menyembur dari tanah, lubang mata air itu dimasukkan sebuah batu yang amat besar ukurannya. Menurut cerita setempat, fungsi batu besar itu untuk mengurangi debit air yang keluar. Bisa dibayangkan seperti apa besarnya. Jika dulunya tidak ditutupi dengan batu besar itu kemungkinan saat ini daerah yang disebut Batang Tabik itu telah berubah menjadi sebuah danau, barangkali….

Seperti yang Bloggers lihat pada foto pertama tampak dua anak manusia (barangkali pegawai pemerintah kolonial Belanda) tampak sedang menikmati mandi di Batang Tabik. Foto ini diperoleh dari KITLV dan dinyatakan diambil pada tahun 1915. Namun, jika melihat kondisi pada hari ini (foto kedua) memang jauh berbeda. Pada foto pertama, Bloggers masih melihat masih asrinya kawasan pemandian ini, bahkan masih ada satu batang pohon yan rindang di sana.

Namun satu hal yang konkrit, nama Batang Tabik ini dalam perjalanan sejarahnya tidak saja dikenal masyarakat Payakumbuh, Kabupaten 50 Kota, namun juga masyarakat di luar kedua daerah tersebut. Hingga hari ini, air Batang Tabik ini masih dimanfaatkan PDAM untuk menyupai kebutuhan warga kota Payakumbuh khususnya.

Tenunan Tradisional Minangkabau, Dulu, Kini, dan Esok

Budaya seni tenun tradisional di Sumatera Barat diyakini sudah berumur ratusan tahun. Bahkan, dalam beberapa arsip menyebut bahwa seni tradisional ini sudah berumurlebih dari 100 tahun. Namun seni tenunan ini, menurut beberapa informan, sempat terhenti produksinya pada masa pergolakan daerah dan meletusnya Gestapu.

Tidak diketahui secara pasti kapan persisnya seni tenun tradisional, seperti di Pandai Sikek maupun di Kubang muncul dalam catatan sejarah. Seperti yang facebooker lihat, tampak ibu-ibu yang menenun kain sarung, ada juga yang menenun tingkuluak dengan benang emas. Tentunya, kain tenunan dengan benang emas itu dipakai ketika mereka menikah. Tapi, ada juga sebagian dari kain tenunan itu dijual di pasar.

Bahan baku kain songkat yang biasa dipakai perempuan Minang pada masa lalu adalah benang emas atau benang perak, benang linen, bahkan benang sutera, menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang sangat sederhana dan masih tergolong tradisional.

Kalau kita simak dalam foto berikut ini, tampaknya pekerjaan ini benar-benar hanya hasil karya dan kreatifitas tangan manusia, tentunya membutuhkan keahlian dan ketekunan. Sehingga waktu untuk menyelesaikan satu lembar kain sarung yang indah dan berkualitas pada masa lalu, bisa mencapai 1 sampai 3 bulan. Itu pun tergantung kerumitan proses pembuatannya.

Adalah wajar, jika harga sehelai kain songket bisa mencapai belasan, bahkan puluhan juta rupiah. Namun, untuk pengrajin yang mampu menghasilkan songket dengan motif-motif kuno perpaduan bahan sutera dengan benang emas jumlahnya sudah sangat terbatas.

Nah, biasanya kain Songket digunakan pada Upacara Adat di Minangkabau seperti Batagak Gala (Upacara Penobatan Gelar), Baralek Gadang (Pesta Perkawinan), dan lain sebagainya.

Sepenggal Kisah Perkebunan Tembakau di Deli

Tulisan mengenai perkembangan perkebunan tembakau Deli berawal dari tulisan tentang De Nederlandse Infiltratie op Sumatra. Kisah ini berawal dari kedatangan Nienhuys ke Deli. Pada masa itu, Sultan Melayu Deli bernama Said Abdullah (seorang keturunan Arab) datang ke Jawa untuk mencari pembeli guna menjual 30.000 pikul tembakau. Sang Penguasa ini juga menawarkan untuk lahan untuk budidaya tembakau yang cocok.

Nah, pada masa itu Laboean merupakan ibukota Deli. Dan diperkirakan pada masa itu penduduk di sana sudah berjumlah sekitar 2000 orang. Sedangkan untuk pendatang umumnya berprofesi sebagai pedagang berasal Cina sekitar 20 orang dan asal India berjumlah 100 orang. Sementara, secara politik kekuatan yang paling dominan pada masa itu adalah Aceh

Foto yang penulis tampilkan ini bersumber dari http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/tembakau/01.html ini, berisi tentang foto-foto pembukaan lahan pertama tembakau di Deli tahun 1885-1895. Dan foto yang penulis tampilkan ini mendeskripsikan di sisi kiri, tanaman tembakau yang daun bagian bawahnya telah dipanen, di sebelah kanan tembakau muda sedang ditanam. Sedangkan Buruh Cina mencari alur untuk menanam bibit tembakau.

Jejak Historis Dunia Dagang di Pasa Gadang & Pasa Mudiak

Budaya dagang orang Minang dapat dilihat dari profesi saudagar (marchant) yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lokalnya ialah manggaleh atau diindonesian “menggalas” (berdagang), berarti melakukan kegiatan jual-beli atau tukar menukar dalam sistem pasar lokal atau regional.

Pada hari pekan itu, banyak petani yang membawa hasil pertaniannya ke pasar dan sebaliknya mereka membeli barang-barang keperluan sehari-hari atau alat rumah tangga lainnya; sebagian untuk dijual kembali di pasar-pasar yang lebih kecil atau lepau-lepau di nagari-nagari. Sebaliknya, pedagang-pedagang yang lebih besar menjual dagangannya di pasar-pasar mingguan yang lebih besar lewat galeh babelok dan bahkan menjadi bagian yang penting dalam jaringan pedagang keliling (peddlers) nusantara seperti yang pernah dideintifikasi Van Leur.

Pada awal abad ke-19, kawasan Pasa Gadang, Pasa Mudiak, dan Pasa Tanah Kongsi merupakan fenomena yang unique dalam lembaran sejarah Minangkabau. Kawasan ini diramaikan oleh saudagar-saudagar yang hari ini diinterpretasikan sebagai pengusaha atau konglomerat. Dari salah satu buku terbitan Kemernterian Penerangan RI berjudul “Propinsi Sumatera tengah”, menjelaskan di kawasan Pasa Gadang dan Pasa Mudiak (seperti yang anda lihat dalam foto berikut) muncul beberapa nama besar, seperti:
1. Rahman Tamin, saudagar, pemimpin umum dari firma Rahman Tamin (salah satu perusahaan importir terkuat pada tahun 1920an). Selain itu, Rahman Tamin juga pioneer Gabungan Importir Indonesia (GINDO), pada tahun 1951 berganti nama Gabungan Pembelian Importir Indonesia (GAPINDO).
2. Ismail Gani dan Jan Tamin, saudagar sekaligus importir yang terkenal hingga Kota Medan.
3. Salim Jalil, pemimpin firma Salim Jalil dan importir di Surabaya.

Sebenarnya, masih banyak deretan nama-nama saudagar Minang yang menjalankan aktivitasnya di kawasan ini. Mereka tidak saja dikenal sebagai pengusaha ekspor-impor, namun juga memiliki pengaruh besar dalam dunia modernisasi Islam dan dunia pergerakan nasional.

Namun, semuanya tinggal kerabang saja. Tidak usah jauh-jauh kita mengambil contoh sederhana. Bangunan yang ada di kawasan mudiak ini pada awal tahun 2008 nyaris tidak terawat. Beberapa kacanya pecah, sudah ditumbuhi lumut, dan tumbuhan merambat. Setahun kemudian, kompleks pertokoan ini semakin miris setelah Gempa 30 September 2009 yang meluluhlantakkan kawasan pertokoan ini. Nah, bagaimana cara kita memvisualisasi masa depan dan mengurai benang sejarah panjang dunia dagang di kawasan ini kepada anak cucu kita???

Tembakau Payakumbuh Masa Kolonial Belanda

 

Bloggers, kembali saya mengajak Anda untuk mengunjungi salah satu perkebunan tembakau yang ada di Payakumbuh. Tulisan ini saya ambil dari laporan arsip Handel uit de Regerings Almanak 1878. Dalam arsip itu dikatakan, perkebunan tembakau di Sumatera Barat telah booming pada akhir abad ke-19, salah satu sentral dari tembakau pada masa itu ada di Payakumbuh.

Namun, kualitas tembakau Payakumbuh masih kalah mentereng dengan kualitas tembakau Deli, sehingga produksi tembakau di daerah ini tidak bisa diekspor ke Eropa. Mengapa kualitas tembakau di Payakumbuh menurut pemerintah kolonial Belanda jelek? Ternyata, penyebabnya kurang perhatian dan perawatan dari buruh-buruh tembakau. Akhirnya tembakau Payakumbuh pun hanya laku dijual di Sumatera, Jawa, dan beberapa kepulauan di nusantara. Pada 1914 jumlah total ekspor tembakau Payakumbuh, mencapai 1.560.000 kg.

Salah satu daerah potensi tembakau rajangan yang masih bertahan berada di perkebunan rakyat Situjuh Bandar Dalam Kabupaten 50 Kota. Bahkan, menurut situs Deptan.go.id bahwa prospek usaha tani untuk tembakau rakyat di Kab. 50 Kota ini cukup menjanjikan.

Hal ini dari harga di tingkat petani yang cukup tinggi yaitu sekitar Rp 50.000 – Rp 70.000 per kg rajangan kering. Tembakau rajangan khas Payakumbuh, selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, menurut situs ini juga di ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui pelabuhan Batam.